Kumpulan Puisi 2

Kertas Lusuh

Ada kata yang tak mampu kuungkapkan.
Hanya segurat tinta yang merangkai rinduku
Sekadar obat penenang.

Menikmati setiap detak jantung
Yang berdenyut menderu tak tertampung
Merasakan hadirmu dalam gemuruh jantung, setiap kutorehkan tinta pada kertas putih yang tergolek lusuh.

(Tangerang, 030409)



Sepotong Cinta

Aku bahagia ketika cintamu tersimpan di hatiku,
Ketika rindumu mendera jangtungku hingga deru darah terbuai lena.
Ketika cemburu melanda hingga merasuk pikiranmu penuh curiga.

Aku bahagia ketika cinta menjadi sederhana dalam penyatuan jiwa.
Menjadi kekasih hingga tutup usia dengan rangkaian kisah yang tak usai.

(Tangerang, 020409)



Di suatu Pagi
 
Bising itu menusuk hatiku yang perih sepi.
Kekasih di manakah kamu,
Cepatlah tiba, aku sekarat.
 
(23032009)



Balada Hati yang Rindu

Dalam jelaga malam,
Kembara rohku mencari aroma tubuhmu.
Tak kutemukan.
Hanya anyir darah yang menyengat
bersama angin berselimut kabut pekat.

Sembilu sepi menyayat luka.
Diam-diam merambat liar ke setiap celah lubang hatiku
Merasuk, menjadi candu dalam tubuh yang mengigil.
Aku rapuh, hancur berkeping-keping.
Dan serakannya, diterbangkan angin kelabu hingga meluruh.

(Tangerang, 020509)




Anyir Darahmu

Tubuh siapakah yang teronggok di tepian laut
Terombang-ambing dalam anyir yang dibawa sepoi angin lautmu.

Celotehmu mengamuk, menggulung ombak dengan derunya gemuruh yang beradu.
Menyuntik mati tubuh vital dalam sakit yang pilu.

Tubuh siapakah yang terkungkung dalam gemuruh kata,
Merajam hati bagai sembilu tak kenal ampun.
Kau torehkan luka dengan mulutmu
Hingga membuih dalam telaga yang kau ciptakan untuk membunuhku.

Menyuntik mati, tubuh dan jiwaku
Dalam kubur dengan nisan di atasnya
Yang telah kau siapkan dengan dengus belerangmu
(Tangerang, 070509)



Menghitung Dosa

Ku raih pena, dan kugoreskan tintanya pada kertas putih.
Hingga redup pandangku karena derai sesalku,
Tak jua hentikan tangan ini menghujam hati dengan daftar dosa yang tak kunjung usai.

Kertas itu tak lagi putih.

(Tangerang, 02022010)



Dekat Pada-Mu

Doaku tak lagi terucap.
Hanya air mata yang menderai penuh sesal.

Pendar senja telah meredup.
Hanya sepi yang memagut hati.

Lidah menjadi kelu,
Pancaran mata kelabu.
Kawan menjadi lawan,
Senyum menjadi seringai.

***
“Bahwa aku tertindas, itu baik bagiku.”

(Tangerang, 29012010)



Menjelang Imlek

Gemuruh badai menambah cekam suasana malam
Hanya gigil yang temaniku dalam kebekuan
Sambil menggunting kertas untuk lampion Imlek nanti
Tak terasa air mata menitik.
Kerinduan yang begitu dalam pada keluarga di kampung

Tangis dan jerit di malam kelam dua tahun silam
Masih terngiang dan membekas dalam ingatan
Suara emak yang mengadakan perjanjian pada seorang pria
Bagai monster , tawa mereka bagiku.
Tega benar kau Mak!
Aku tertekan! Takut terbayang masa depan yang gelap dan suram

Kini , lampion itu selesai.
Cahayanya yang lembut, menguatkanku berjuang dalam derita
Aku berhasil melarikan diri dari jerat monster yang ingin menjualku
Tidak apa di sini aku melarat, asalkan merdeka dengan suami dan anakku
Menanti datangnya Imlek di Jakarta bersama keluarga baruku dalam sejahtera dan kedamaian.

(Tangerang 2010)





Cahaya Lampion

Hujan mengguyur kotamu kekasih
Membasahi gersang hatimu
Cahaya lampion di sepanjang jalan
Merekam kisah kita yang telah lalu.

Hujan memenangkan perjuanganmu kekasih
Merebut kembali damai yang kau temukan.

Hujan membasuh semua ketidakadilan yang kau dera
Menghanyutkan bersama kotoran yang menghalangi asamu

Cahaya lampion membebaskanmu dari belenggu penindasan
Mengobarkan semangat juangmu menyambut tahun yang baru
Menumbuhkan cinta dalam kebersamaan
Mengembangkan kasih dalam keadilan

(Tangerang, 2010)



Kasihmu adalah Kebahagiaanku

Apakah harga sebuah kebahagiaan
Dari anyirnya kusta pada tubuhku.
Terkulai lemah di perhentian lampu merah, dengan kepala dan tangan tertadah
Mengiba penuh asa dalam hati yang patah.

Apakah harga sebuah kebahagiaan
Dari tulang-tulang yang gemeretak gigil membeku dalam dingin
Telanjang, tanpa sehelai kain memeluk tubuhku.

Iri hatiku pada tatap yang begitu angkuh
Karna indah kain yang memeluknya.

Kapan kau lawat aku, tuk bagikan kebahagiaanmu
Sekadar hangatkan hatiku yang remuk.

Apakah harga sebuah kebahagiaan bagimu
Hingga kau rela menjual harga dirimu sendiri dan lupakan aku?

Aku lahir di tempat terbuang, tak berharga, tak berarti, tersisihkan, bergelimang dosa.

Adakah hatimu tersentuh membagi kasih?
Melupakan kesemuan hidup yang kau kejar untuk dirimu sendiri.
Memberikanku pakaian
Melawatku ketika sakit
Memberikanku tumpangan untuk berteduh.

Karna harga sebuah kebahagiaan, adalah kerelaan dirimu untuk Saudaramu yang terbuang dan terlupakan.

(Tangerang, 14-12-2009)



Anakku

Ruang gelap dan lembab itu, tak lagi kosong.
‘kan menjadi tempatmu berjuang hidup,
menuju terang yang menjadi pijakanmu.

(Tangerang, 190710)



Di Suatu Waktu

Bagai kertas kosong putih,
Terasa hampa dan gamang.
Bagai kapal karam,
Tenggelam hingga dasar,
Terasa gelap dan dingin.

Waktu tiba-tiba menghentikan jelajahnya.
Membeku hingga kaku.
Menghentikan hidupnya meski bergerak.
Membunuh asa yang melesat cepat dan bebas.

(Tangerang, Juli 2010)



Pada Puisi

Ketika penat datang, membujukku mengunjungi sepi yang tenang.

Perlahan airmata jatuh tetes demi tetes.

Sepi yang senyap, hanya butuh tempat tuk rehat sejenak dari risau dan galau
Yang selalu menyerang bagai deru angin.

Lidah kelu, bibir mengatup rapat.
Sepi suara, namun berlaksa aksara tak bisa berhenti.
Menderas ia bagai darah merahku.
Mengalir hingga ke otak, dan perintahnya pada jemariku tuk lahirkan pada sebuah puisi.

(Tangerang, Juli 2010)



Rahasia

Titik-titik dosa dalam kisah sepanjang masa, tak lekang terbawa napas.
Meski kembali ke titik nol, tidak menyangka sewaktu-waktu terkenang menjadi lara atau aib.

***
Cerita sebuah perjalanan manusia
Yang tak mungkin pernah sempurna.
Menjadi rahasia tersimpan lekat dalam darah.

Biarlah menjadi rasa, di satu bab kehidupan
Entah itu pahit atau manis
Hanya dia yang tahu.

(Tangerang, 010910)























Tidak ada komentar:

Posting Komentar