Kumpulan Puisi 1

Bocah Trotoar
Siang terik menetes peluh.
Keringkan suara parau melemah,
Dalam hati yang patah.

Berharap gemerincing upah,
Dengan tangan tengadah.
Dari raut pongah di balik jendela.



Elegi Petani
Beras dari sebuah kekas
Dalam tahun-tahun yang keriput
Seperti wajahnya yang menciut karena tua.

Sawah dari bajak tak terhitung
Bergeming dalam puluhan abad.
Hanya gemerincing upeti yang terdengar setiap panen.

Petani dari pagi buta, hingga senja menjemput
Menanam peluh dan air mata.
Ujud tangan Tuhan, untuk perut pelahap.

Harga apa yang terbayar
Dari setiap butir harapan.
Legamnya kulit karena terik, keras mengapal tapak kaki.

Terbalas dengan sawah yang mengeras, hingga membelah karna kering.
Padi yang tumbuh menjadi gedung-gedung angkuh dan serakah.
Bulldozer yang membajak hingga puing dan debu.
Petani yang semakin merunduk tak berdaya.



Setengah Hati
Baja yang megah itu, tak mampu menembus hati yang terkoyak
Lantunan kalimat indah, tak redamkan benci yang mendidih

Hanya tergugu pucat, duduk pada kayu-kayu jati dengan ukiran indah.
Puja-puji yang keluar dari mulutmu, tak mampu menembus kubah bertahta surga.



Nurani
Jika keluhuran budaya tak lagi berarti,
Jika identitas bangsa tak lagi memantulkan kemurnian,
Jika ide-ide terberangus kebebalan tirani.
Mari tegakan kepala, gerakan hati tuk lenyapkan ketidakadilan yang telah menginjak bangsa.
Karena diam itu tak lagi emas.



Republik Sakit Hati
Mengkhianati bangsa dengan mencabut keistimewaan sebuah kebudayaan luhur dari bangsanya sendiri.
Perilaku keji dengan otak kerdil.
Bangga dengan tepuk tangan para penjilat setelah membacakan keputusan konyol yang dicari-cari untuk menutup-nutupi kasus mafia.
Pemimpin yang telah kehilangan akal sehat, tidak lagi dpt mengayomi rakyatnya, tidak lagi membuat nyaman.
Hanya ide-ide tolol dari pikiran orang mati.



Pengampunan
Bekunya malam, titikkan air mata pada tubuh yang menggigil.
Menyentuh jiwa terpuruk sesal.



Virus

Kenapa hanya sekejap.
Tak tahukah, aku sekarat.
Bagai jiwa yang terhempas di atas karang yang tajam, Merajamku hingga lemah terkulai.

Kenapa begitu dalam tanamkan cinta.
Tak tahukah, aku merana.
Bagai hati yang dimahkotai duri
Hingga habis darah menderas.

Kenapa tak usaikan saja kisah ini.
Tak tahukah, aku meradang.
Bagai virus gerogoti tubuhku,
Hingga membusuk dalam sepi yang senyap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar