Senin

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

Aristoteles dan Tan Malaka pernah mengatakan, tugas guru adalah melayani dan menemani murid dalam merumuskan pertanyaan-pertanyaan dasar. Sekolah bukan tempat untuk menumpahi murid dengan tumpukan informasi tetapi melatih kematangan berpikir serta kedewasaan bersikap.
Sekolah: skhole, scola, scolae atau schola (Latin) secara harfiah artinya waktu luang. Masalahnya, bagaimana menciptakan sekolah yang bukan hanya sekadar memberikan pengetahuan teori, tapi kemampuan mengembangkan keterampilan dalam diri anak didik menjadi mandiri yang arif dalam menyikapi hidup.
Sekolah, sekarang hanya mementingkan administrasi harus tuntas dengan deretan nilai yang harus masuk tepat waktu yang kemudian diolah pemerintah pusat untuk dikalkulasi. Kemudian anak-anak dituntut untuk menyelesaikan tugas tepat waktu, tidak peduli mereka bisa atau tidak. Mendapat sesuatu atau tidak. Yang penting semua tuntas. Belum lagi ditambah dengan pertumbuhan pesat sekolah-sekolah yang berstatus internasional.
Terjadi perubahan makna mengajar. Antara mendidik dan menumpahi informasi tidak bisa dibedakan. Begitu antusias guru untuk menciptakan murid-murid yang kepintarannya jauh melebihi usianya. Memaksakan murid untuk membuat tesis atau penelitian dewasa. Dipaksa bekerja, berpikir kritis tentang masalah yang rumit. Bukannya dari hal-hal sederhana tentang hidup terdahulu. Seperti tugas mengritisi masalah sosial yang terjadi di lingkungan rumah atau masalah sosial yang terjadi di kota-kota besar dengan problem anak jalanan atau orang-orang pinggiran yang jauh dari perhatian. 
Prihatin sekali dengan sekolah-sekolah sekarang ini, yang dijadikan bisnis demi kepentingan pribadi. Memperdagangkan pendidikan dengan segala fasilitasnya, yang berlomba-lomba melengkapi dengan segala kecanggihan teknologi, dan eksklusif lingkungan sekolah. Waktu sekolah diperpanjang agar siswa kelak terbiasa hidup dalam arus produksi yang tak kenal istirahat dan masa libur. Menjadikan sekolah bukan lagi tempat untuk menanamkan tradisi diskusi atau budaya pergaulan, melainkan eksklusifisme. Makin banyak sekolah yang menuntut  muridnya untuk tinggal lama di sekolah ketimbang membiarkannya bergaul dengan masyarakat sekitar.
Cita-cita menjadi seorang guru adalah ingin memberikan sesuatu kepada siswa yang dulu selama menjadi siswa tidak pernah dapatkan. Seorang guru adalah profesi yang sadar akan potensi seorang siswa. Ada kerinduan untuk menuntun potensi anak ke arah yang lebih matang yang mengarah kepada kedewasaan anak itu sendiri.
Seorang anak yang memutuskan menjadi murid, bukan hanya membutuhkan bimbingan tetapi juga lingkungan di mana potensinya bisa muncul dan bertumbuh. Tugas sekolah dan guru yang harus dapat menciptakan lingkungan yang dapat melahirkan dan menumbuhkan potensi siswa.
Mendidik bukan sekadar memberikan informasi, tetapi juga memahami kekritisan dan imajinasi anak, mau kearah mana setelah dia lulus pendidikan nanti. Bukan menganggap kekritisannya sebagai suatu pemberontakan, melainkan kreatifitas dia sebagai manusia yang idealis.
Sistem pengajaran untuk guru bahasa Indonesia, lebih baik mengarah bukan saja teknik bahasa Indonesia yang harus benar, tetapi malahan mencakup semua mata pelajaran. Tidak sekadar EYD, tetapi mengenalkan ilmu lain kepada siswa dalam pelajaran bahasa Indonesia itu sendiri. Membuat pelajaran yang selalu progresif dan ini dibutuhkan guru yang tidak sekadar menguasai teknik mengajar yang baik tetapi bagaimana menciptakan lingkungan yang peduli dengan kritis dan imajinasi siswa.
Dengan keragaman siswa, dari yang super aktif sampai dengan yang apatis. Dibutuhkan guru yang dapat memahami setiap pribadi siswa. Mencari jalan untuk mengadakan pendekatan yang lebih subjektif.
Sangat sedikit untuk menemukan guru yang cakap dalam menulis, merumuskan pertanyaan secara lebih baik dan memahami kalau pengetahuan itu bagian kekuasaan.
Rekam kemampuan siswa seperti halnya merekam data medis. Memuat data detail tentang siapa saja siswa dan apa sebenarnya potensi yang dimiliki siswa.
Sekolah harusnya memberikan kepada guru kebebasan dalam proses pembelajaran. Mencari cara bagaimana mengajarkan siswa dengan cara yang baik. Di mana kita sebagai guru yang harus beradaptasi dengan kehidupan mereka, bukan siswa yang harus mengikuti kita. Dengan adanya pemikiran seperti ini, guru secara intuisi akan selalu menciptakan pemikiran yang kreatif. Tidak melulu teoritis yang membosankan.
Guru tidak pernah boleh berhenti untuk belajar. Seorang guru yang baik, adalah guru yang selalu ingin tahu. Haus pengetahuan dan mencoba cara-cara baru yang menyenangkan demi kepentingan siswa yang lahir sebagai generasi penerus. Menyadari bahwa hidup itu perlu dinikmati tanpa harus terbebani dengan peraturan. Melakukan gerakan perlawanan secara subjektif, dari segala bidang.
Guru tidak hanya mengajarkan hal-hal yang teoritis dalam lingkungan sekolah. Tetapi mempunyai wawasan luas tentang realitas sosial yang terpinggirkan. Beberapa kawasan miskin maupun yang berada di tempat terpencil menjadi sasaran wajib bagi calon guru maupun yang sudah guru. Menumbuhkan empati dan kekritisan siswa terhadap realitas sosial. Jadi tidak hanya meluluskan siswa-siswa yang cerdas, cerdik, dan bermoral, melainkan lulusan yang memiliki kesadaran tentang tanggung jawab sosial pada lingkungannya. Mempunyai semangat untuk menjadi intelektual muda yang berkualitas terhadap bangsanya dengan rasa memiliki yang besar. Bahwa dia memiliki Indonesia, dia memiliki semua yang ada dan berhak dipertahankan dan dimajukan. Terutama merangkul rakyat yang selama ini terpinggir dan terasing. Ini semua tugas guru untuk memulai pendidikan yang melawan secara subjektif. Tidak melulu deretan angka terbaik, tetapi mentalitas yang kuat untuk bertahan hidup dalam memajukan bangsa secara kreatif dan mandiri.
Pendidikan yang bertujuan melatih prinsip tanggung jawab sosial. Siswa dan guru saling belajar mengenal realitas untuk memahami dan sadar kalau keadaan ini penting untuk diubah. Mengembangkan kesadaran kritisnya dengan melatih untuk bertanya semua sistem dan modal yang berlaku. Melatih anak dengan menghasut pertanyaan yang berhubungan dengan lingkungan terdekatnya. Di mana dia tinggal, bagaimana kehidupannya berjalan, persoalan apa yang dia hadapi, dan bagaimana dia mengatasi persoalan tersebut. Anak perlu mengenal sejak dini bagaimana lingkungan sosialnya dan bagaimana beban persoalan yang dihadapinya.
Kemudian tahap berikutnya mengajak anak untuk berhadapan langsung dengan persoalan sosial, dan bagaimana menyelesaikan persoalan tersebut dalam berbagai cara. Memancing pertanyaan-pertanyaan yang kritis untuk siswa, tentang realitas sosial yang terjadi di negaranya sendiri.
Terjun kelapangan mengajak siswa langsung berhadapan dan berdialog dengan “korban” kemajuan. Mengajak dialog di ruang kelas dengan masalah kompleks sosial. Mengajak siswa untuk menyikapi persoalan dengan kritis dan rendah hati.
Saatnya sekarang membangun nurani guru dan sekolah bertujuan murni, sebagai bentuk reformasi dunia pendidikan yang telah ternodai ketamakan.